Serangan udara Israel di Jalur Gaza kembali memakan korban. Sedikitnya 30 warga Palestina tewas sejak Jumat (18/7/2025) dini hari, menurut laporan sumber medis kepada Al Jazeera. Situasi rumah sakit di Gaza semakin genting. Tenaga medis kewalahan menangani arus korban luka setiap hari, memaksa mereka menentukan pasien mana yang diprioritaskan untuk dirawat. Di lingkungan Tuffah, timur Kota Gaza, tiga orang dilaporkan tewas akibat serangan udara Israel. Sementara di Jabalia an-Nazla, Gaza utara, lima orang meninggal dunia.
Serangan sebelumnya juga menghantam tenda-tenda pengungsi di al-Mawasi, Gaza selatan, yang disebut sebagai "zona aman". Sedikitnya lima orang, termasuk seorang bayi, tewas dalam kebakaran yang dipicu serangan itu. Al-Mawasi berulang kali menjadi sasaran tembakan mematikan dari Israel. Bahkan, di antara korban terbaru, tujuh di antaranya merupakan warga yang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Serangan drone dengan rudal berisi paku
Koresponden Al Jazeera, Hani Mahmoud, melaporkan para korban luka, termasuk anak-anak, telah dibawa ke Rumah Sakit Nasser. Banyak di antara mereka mengalami luka khas serangan pesawat tanpa awak. "Rudal drone ini membawa paku, logam, dan serpihan peluru yang meledak dengan kecepatan tinggi, memicu pendarahan internal. Serangan ini semakin sering terjadi dan menyasar kerumunan besar, seperti pasar atau antrean air," ujar Mahmoud. "Meski Israel mengklaim menggunakan senjata canggih, kenyataannya di lapangan menunjukkan jumlah korban yang sangat besar dan bertentangan dengan klaim tersebut," jelas dia.
Rumah sakit tanpa listrik dan obat-obatan
Blokade Israel yang terus berlanjut memperparah kondisi rumah sakit. Pasien dengan penyakit kronis kerap terabaikan karena unit gawat darurat penuh oleh korban serangan. “Sebelum perang, saya rutin menjalani dialisis tiga kali seminggu, empat jam per sesi. Saat itu, kondisi kami cukup stabil,” kata Omda Dagmash, pasien dialisis di Rumah Sakit al-Shifa, Gaza City. “Sekarang, kami hampir tak bisa ke rumah sakit, apalagi dengan pola makan kami yang buruk,” lanjutnya.
Jadwal dialisis di al-Shifa kini dipersingkat dan dikurangi. Bagi sebagian pasien, ini menyangkut hidup dan mati. “Perjalanan ke rumah sakit sangat melelahkan dan mahal. Kadang kami bahkan tidak mendapatkan obat. Saya punya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan diabetes. Obat yang kami terima pun kualitasnya buruk. Apa kami harus mati di rumah saja?” ungkap Rowaida Minyawi, pasien lanjut usia.
Menurut Ziad Abu Humaidan dari departemen teknik rumah sakit, krisis bahan bakar memaksa pihak rumah sakit mematikan aliran listrik di hampir seluruh bangunan.
“Beberapa departemen saja yang beroperasi. Halaman rumah sakit berubah menjadi kuburan, bukan lagi tempat perawatan. Tanpa listrik, tak ada alat medis yang berjalan, tak ada penerangan, dan tak ada dukungan untuk layanan penting lainnya,” jelasnya.
Ancaman kelaparan ekstrem
Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan, unit gawat darurat dibanjiri pasien dari segala usia yang menderita malnutrisi parah. Ratusan orang dalam kondisi kurus kering dan berada di ambang kematian akibat kelaparan. Mohammad Abu Salmiya, Direktur Rumah Sakit al-Shifa, mengatakan para pasien kini menderita stres berat hingga kehilangan daya ingat karena kelaparan. Di sisi lain, survei opini publik yang dilakukan media Israel, Maariv, menunjukkan sekitar 44 persen warga Israel menilai perang di Gaza tidak akan mencapai tujuan negara.
Maariv mencatat, 73 persen pendukung koalisi pemerintahan optimistis militer akan berhasil, sedangkan 70 persen pendukung oposisi justru pesimistis.
Sumber : Kompas.com