Merdeka atau Terjajah Korupsi

 

KEMERDEKAAN kita lahir dari darah dan pengorbanan. Para pendiri bangsa membayangkan sebuah negeri yang bebas menentukan nasibnya sendiri, tanpa campur tangan penjajah. Namun, di balik gegap gempita perayaan setiap 17 Agustus, ada bayang yang membisu tapi pekat: korupsi. Ia bukan datang dari kapal perang yang berlabuh di pelabuhan kita. 

Ia tidak berseragam asing. Ia justru lahir dari dalam negeri, tumbuh di ruang-ruang yang seharusnya menjaga marwah republik. Ia berwajah seperti kita, berbicara dengan bahasa kita, bahkan mengangkat sumpah di hadapan bendera yang sama. Korupsi adalah luka yang merusak jaringan dalam tubuh bangsa. Ia tidak hanya menguras kas negara, tetapi juga menggerogoti sendi-sendi moral. Ia menumbuhkan keyakinan berbahaya bahwa keadilan bisa dinegosiasikan, dan kebenaran bisa dibeli.

Setiap kasus korupsi yang terungkap hanyalah permukaan dari samudra gelap di bawahnya. Di bawah permukaan itu, ada mekanisme yang saling melindungi, ada jaringan yang mengatur aliran uang dan pengaruh, ada kesepakatan diam-diam yang membuat para pelaku bisa tidur nyenyak. Luka ini menahun, karena sistem yang seharusnya menjadi obat justru sering kali ikut menjadi penyakit. Korupsi tidak akan bertahan tanpa dusta. Dusta bahwa uang itu hanya “biaya administrasi”. Dusta bahwa pemberian itu demi memperlancar pekerjaan. Dusta bahwa semua demi kepentingan rakyat. Dusta itu diulang-ulang sampai terdengar seperti kebenaran. 

Ia masuk ke bahasa birokrasi, menjadi eufemisme yang manis: “uang lelah”, “honor tambahan”, “fasilitas relasi”. Kata-kata ini menutupi bau busuk yang sebenarnya. Dan seperti asap tipis, ia meresap ke setiap celah, membuat kita sulit membedakan mana kebiasaan, mana pelanggaran. Korupsi adalah rantai yang membelenggu kemerdekaan kita. Ia menahan gerak pembangunan, mengalihkan dana pendidikan dan kesehatan ke rekening pribadi. Ia membuat rakyat terus bergantung pada belas kasihan pejabat yang justru merampas hak mereka. Rantai ini juga membelenggu mentalitas. 

Banyak yang memilih diam, karena takut. Banyak yang ikut-ikutan, karena “semua orang melakukannya”. Dan pelan-pelan, rantai itu tidak lagi terasa seperti belenggu. Ia dianggap bagian dari pakaian sehari-hari, sesuatu yang wajar, bahkan normal. Memerangi korupsi memerlukan keberanian yang tidak hanya ada di ruang sidang pengadilan, tetapi juga di ruang keluarga dan pertemanan. Keberanian untuk menolak pemberian yang tidak seharusnya diterima. Keberanian untuk melaporkan pelanggaran, meski tahu risiko yang menunggu. Perlawanan ini juga berarti membangun sistem yang sulit ditembus, bukan hanya mencari kambing hitam. 

Karena korupsi bukan hanya soal moral individu, tetapi juga soal celah yang dibiarkan terbuka. Kita membutuhkan undang-undang yang tegas, lembaga yang independen, dan budaya publik yang tidak memberi ruang bagi kompromi atas integritas. Kita sering menunjuk ke atas ketika bicara korupsi, seolah semua pelaku hanya berada di kursi tinggi. Tapi cermin yang jujur akan memperlihatkan wajah kita sendiri.

Ketika kita menyuap untuk mempercepat layanan, itu bentuk kecil dari korupsi. Ketika kita memanipulasi data untuk keuntungan pribadi, itu juga korupsi. Ia tidak lahir besar, ia tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita biarkan. Melihat cermin berarti mengakui bahwa perjuangan melawan korupsi bukan hanya tugas KPK, polisi, atau jaksa. Ia adalah tugas setiap warga negara yang ingin kemerdekaannya utuh, bukan hanya di atas kertas.

Harapan

Ada negara-negara yang berhasil membuat korupsi menjadi pengecualian, bukan kebiasaan. Mereka melindungi pelapor pelanggaran, membuka akses informasi publik, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Indonesia bisa menuju ke sana. Tapi ia memerlukan kemauan politik yang tulus, bukan sekadar pencitraan. Ia memerlukan warga yang berani mengawasi dan media yang bebas mengungkap. Ia memerlukan hakim yang tidak tergoda oleh janji-janji, dan birokrat yang percaya bahwa integritas lebih berharga daripada kekayaan. Harapan ini tidak lahir dari mimpi kosong. 

Ia lahir dari keyakinan bahwa bangsa yang pernah mengusir penjajah bisa juga mengusir perampok berseragam jabatan. Di pembukaan UUD 1945, para pendiri bangsa menulis janji: untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi janji itu hanyalah teks mati jika dana pendidikan bocor, jika bantuan bencana diselewengkan, jika proyek infrastruktur lebih menguntungkan segelintir orang daripada rakyat banyak.

Menepati janji berarti memastikan bahwa setiap rupiah yang dikumpulkan dari pajak rakyat kembali untuk rakyat. Menepati janji berarti menolak godaan yang akan membuat kemerdekaan ini kosong makna. Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pilihan yang sederhana, tapi menentukan: merdeka atau terjajah korupsi. Merdeka berarti hidup dalam sistem yang adil, di mana hukum berlaku untuk semua, di mana pejabat melayani, bukan memanfaatkan. Terjajah korupsi berarti hidup dalam ketidakpastian, di mana keadilan bisa dibeli dan kebenaran bisa disembunyikan.

Sejarah sudah memberi kita pelajaran: penjajahan tidak selalu datang dengan bendera asing. Ia bisa datang dengan senyum ramah, tanda tangan di dokumen, atau keputusan rapat yang diam-diam mengorbankan kepentingan rakyat. Merdeka atau terjajah—pilihan itu ada di tangan kita. Dan seperti dulu, kemerdekaan tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan, setiap hari.

Sumber : Kompas.com 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama