Menjaga Demokrasi Tetap Hangat

 

DEMOKRASI sebenarnya rumah besar yang dibangun dari rasa saling percaya, dialog, dan kesetaraan warganya. Rumah besar ini memiliki atap yang bernama konstitusi sebagai pelindungnya. Sementara itu, kebebasan merupakan penghangat ruangannya. Kehangatan demokrasi akan membuat warga merasa aman berbicara dan nyaman berbeda pendapat. Mereka akan percaya bahwa perbedaan pandangan bukan alasan untuk saling menyerang dan meniadakan. Namun, sejarah politik di banyak negara saat ini menunjukkan bahwa kehangatan ini sering diganggu oleh “orang iseng” yang ingin merebut “selimut” demokrasi. 

Selimut yang mestinya milik semua warga berubah milik segelintir pihak. Mereka yang iseng itu kerap menyusup dalam bentuk populis oportunis, kelompok buzzer yang pandai memanipulasi emosi publik, atau bentuk lainnya. Modus mereka adalah mempersonalisasi demokrasi dan mengganti ruang bersama menjadi ruang milik pribadi. Mereka mengendalikan “termometer” politik agar kehangatan hanya dirasakan oleh kelompoknya.

Perilaku iseng seperti ini berbahaya. Kehangatan demokrasi yang seharusnya menyatukan banyak orang bisa berubah menjadi suhu sempit yang menguntungkan satu kubu dan membuat dingin warga lain. Akibatnya, warga mulai merasa tidak lagi memiliki rumah bersama. Ketika perilaku iseng yang menjadi gangguan ini terjadi, demokrasi bisa retak dari dalam. Institusi melemah, hukum ditarik ke arah kepentingan sempit, dan kebebasan berubah menjadi selektif, hak istimewa yang terbatas. Agar demokrasi tetap hangat dan bukan milik eksklusif orang tertentu, paling tidak ada empat langkah yang harus kita sadari. 

Pertama, pengelolaan kekuasaan harus selalu mengacu pada prinsip checks and balances yang sebenarnya, bukan basa-basi. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif jangan berkomplot, tapi harus saling menjaga. Jika tidak demikian, maka selimut akan demokrasi mudah dihela oleh tangan-tangan jahil yang ingin membungkus dirinya sendiri. Kedua, pemanfaatan ruang digital yang sehat sebagai sumber panas yang menjaga suhu demokrasi tetap stabil kehangatannya. Biarkan masyarakat berpartisipasi secara bebas, namun “diliterasi” secara terencana dan terpola. 

Untuk yang kedua ini perlu tenaga besar untuk mengupayakannya. Ketiga, partai politik harus memperkuat literasi masyarakat. Niatkan dan usahakan secara sistematis agar warga paham haknya, memahami proses politik, agar tidak mudah dikelabui oleh retorika kosong. Literasi inilah akan melindungi demokrasi dari “embusan angin dingin” manipulasi informasi.

Keempat, demokrasi tidak cukup hanya diatur oleh hukum. Ia membutuhkan political virtue, yaitu etika politik yang dijunjung tinggi. Para aktor politik harus menyadari bahwa perebutan kekuasaan adalah bagian dari permainan demokrasi, tetapi memonopoli “kehangatan” adalah pengkhianatan terhadap semangatnya. 

Kehangatan demokrasi bukan api yang membakar lawan, melainkan api unggun yang mengundang semua duduk melingkar. Agar api itu tetap menyala, kita harus waspada terhadap orang iseng yang ingin menarik selimut untuk dirinya sendiri. Sebab, jika selimut itu hilang dari tangan rakyat, api demokrasi akan menyusut. Dan lambat laun “rumah besar kita” akan menjadi dingin, kosong, bahkan asing bagi penghuninya. 

Demokrasi Overheat 

Demokrasi itu ibarat api unggun di tengah malam, dibuat untuk memberi cahaya, mengusir dingin, dan menyatukan orang-orang dalam lingkaran kehangatan. Namun, api unggun demokrasi memiliki sifat ganda. Ia bisa menghangatkan, tetapi juga bisa membakar jika terlalu panas (overheat). Kehangatan yang berlebihan terjadi ketika rasa nyaman berubah menjadi mabuk kuasa. Ketika konsensus berubah menjadi kolusi. 

Dan, ketika aturan main yang jelas diabaikan oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga “api unggun”. Overheat ini sering dimulai dari rasa percaya diri yang berlebihan pada stabilitas sistem. Para politisi, hakim, hingga media, sebagai operator demokrasi, merasa bahwa rumah demokrasi ini sudah terlalu kokoh untuk runtuh. Mereka mulai longgar mematuhi prosedur (SOP) yang semestinya menjaga api tetap terkendali.

Rapat publik yang seharusnya terbuka berubah menjadi pertemuan eksklusif. Mekanisme check and balances dilonggarkan demi “efisiensi”. Kebebasan berpendapat dibungkus dengan retorika, lalu dibatasi pelan-pelan atas nama ketertiban. Kehangatan demokrasi berubah menjadi panas tak terkendali ketika sistem mulai memanjakan segelintir aktor. Partai politik yang terlalu nyaman di kursi kekuasaan menjadi malas berkompetisi secara sehat. Media yang terlalu akrab dengan penguasa kehilangan keberaniannya untuk mengkritik. 

Mencegah demokrasi dari overheat berarti mengembalikan kepatuhan pada SOP demokrasi. Supremasi hukum yang tegas, transparansi pengambilan keputusan, dan partisipasi publik yang aktif. Ketika menjadi terlalu “hangat” tanpa kendali dan protokol SOP yang tegas, demokrasi dapat berubah menjadi bentuk dominasi terselubung. Demokrasi bukan lagi sistem yang inklusif, tetapi alat untuk mengutak-atik kekuasaan. Sangat penting untuk disadari oleh para operator demokrasi bahwa kita bukan pemilik api, melainkan sama-sama sebagai penjaganya.

Ketika kita sadar bahwa menjaga kehangatan demokrasi adalah tugas bersama, bukan kesempatan untuk menguasainya, maka lingkaran warga akan tetap rapat. Masyarakat akan saling memandang dalam cahaya. Merasa akan merasa bahwa rumah besar ini aman dari kobaran liar yang merusak segalanya.

 

Sumber : Kompas.com 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama